top of page

Kader Posts

Bahaya Fanatisme Bagi Demokrasi


“…Fans angkat tangan, haters bisa angkat kaki.” Begitu penggalan hook lagu bergenre hip-hop berjudul Senam Pagi yang dibawakan Young Lex bersama Arvisco, Tata, Laze, dan Dycal. Lagu ini begitu populer—per tanggal 23 Juli telah mencapai 1.146.325 kali tayang di situs YouTube—di kalangan remaja yang mengaku sudah melampaui media televisi dan memilih YouTube sebagai alternatif yang lebih kekinian. Apakah anak-anak muda tersebut mempunyai korelasi dengan tulisan ini? Hmm, mungkin iya.

Fans merupakan lema serapan dari bahasa Inggris, dan sering digunakan sebagai istilah slang untuk menyebut individu atau kelompok pengikut yang fanatik—pengagum artis dan selebritas maupun pendukung para politisi. Kini jumlah dan kiprah fans nampak semakin nyata dalam keseharian kita, terutama di media sosial.

Di Facebook atau Twitter misalnya, kita dengan mudah dapat bersentuhan dengan akun-akun virtual yang—secara berlebihan—mendukung atau megagumi artis atau politisi tertentu. Interaksi antar fans di media sosial juga menjadi perbincangan yang menarik dalam keseharian kita. Kadang membuat kita tertawa, kadang membuat dahi berkerut, dan lebih jauh, menyulut emosi karena debat tanpa nalar dan menyebalkan.

Namun fanatisme sesungguhnya tidak lahir dari rahim panggung seni ataupun politik. Jika membaca sejarah perkembangan fanatisme, kita akan menemukan bahwa fenomena ini justru lahir dari arena tarung teologi dan politik yang menyertai gerakan Reformasi Gereja Kristen. Pada tahun 1525, Martin Luther—sang pelopor Protestanisme—menghadapi perlawanan kelompok petani yang dipimpin Thomas Müntzer. Luther kemudian menggunakan kata Schwärmer—kaum fanatik—untuk menamai kelompok petani yang berlawan terhadapnya. Pilihan kata yang tepat bagi seorang pelopor reformasi gereja, bahwa siapapun yang melawannya berarti anti-reformasi dan termasuk golongan konservatif yang fanatik.

Fanatisme juga sering digunakan dalam industri media untuk menggambarkan pandangan keagamaan para pelaku terorisme, yang mana sebagian besar pelaku tindak pidana tersebut kebetulan merupakan pemeluk agama Islam. Akibat pemberitaan-pemberitaan tersebut kemudian lahir lema-lema baru seperti ekstremis Islam, atau Islam fanatik, yang terafiliasi erat dengan berbagai tindak kekerasan bermotifkan agama—yang sebetulnya lahir dari kesalahan penafsiran.

Bob de Graaff dari Utrecht University, dalam buku History of Fanaticism: From Enlightenment to Jihad menyatakan, para pemeluk agama yang meyakini adanya hari akhir setidaknya terbagi empat kategori: determinis yang pasrah, reformis yang optimis, kolonis utopian nan penyendiri, dan kaum fanatik. Kategori yang terakhir, dalam pandangan Graaf, merupakan kelompok yang memaksakan kekuasaan Tuhan di bumi atau memotong sejarah melalui jalan pintas, dan seringkali menggunakan kekerasan. Watak utama kelompok fanatik ini adalah absolutism, kemutlakan kebenaran yang mereka pegang, baik dalam hal nilai maupun metode/jalan untuk mencapainya.

Dalam kehidupan politik bangsa kita sepanjang tiga tahun terakhir, fanatisme politik bahkan sampai di tahap yang mengharukan. Karena beda pilihan poltik, tak sedikit keluarga yang semula harmonis menjadi renggang, atau sahabat yang mulanya berhubungan dekat kini tak lagi bertegur sapa. Mungkin hampir semua di antara kita merasakan sejak momentum Pemilu 2014, perseteruan antara dua kelompok politik—yang direpresentasikan oleh figur Joko Widodo di satu sisi, dan Prabowo Subianto di sisi lain— tak kunjung berakhir. Pak Jokowi dan pak Prabowo sudah saling bersalaman, namun banyak di antara pendukung fanatik keduanya yang masih bermusuhan.

Hal yang menarik diamati sejak saat Pilpres yang lalu adalah, dengan mengetahui figur yang didukung oleh seseorang, dengan serta-merta kita dapat mengetahui pandangan politik dan keagamaan yang dianut olehnya. Seorang pendukung Jokowi dengan mudah dilabeli sebagai simpatisan Jaringan Islam Liberal (JIL), atau Syiah dan Komunis. Sedangkan pendukung Prabowo dicap sebagai simpatisan Orde Baru dan dianggap keras dalam beragama. Beberapa prasangka yang dikemukakan ini berakhir pada stigmatisasi atas kelompok atau individu tertentu.

Stigma merupakan hal yang harus kita lawan dalam keseharian kita hingga hari ini. Sebagai pemilih para calon presiden tersebut, stigma tersebut terus melekat pada diri kita, bahkan mungkin menjadi identitas ideologis kita. Bagi sebagian kelompok masyarakat, memiliki identitas ideologis merupakan kenyamanan namun bagi sebagian yang lain termasuk saya sendiri bukanlah sesuatu yang nyaman, mengingat identitas tersebut akan menghalangi kritik yang saya sampaikan untuk terdengar objektif di mata para pendukung sang tokoh yang dikritik.

Begitu mengerikannya stigma yang dilekatkan pada para pendukung calon presiden tersebut bahkan menjadikan tindakan tersebut bukan lagi sekadar stigma tapi lebih mengarah pada demonisasi. Katakanlah, hari ini yang menjadi presiden adalah Joko Widodo dan saya—diketahui—adalah pemilih Prabowo saat Pilpres lalu. Bisa dibayangkan apa yang akan dilayangkan oleh pendukung fanatik Presiden Jokowi bila kritik saya layangkan kepada Presiden yang terhormat? Mungkin saya akan disebut haters yang tidak produktif, belum move on dari pilpres yang lalu, dan sinis terhadap segala kebijakan pemerintah hari ini. Sedangkan narasi kritiknya sama sekali tak digubris.

Stigma yang mengarah pada demonisasi bukan merupakan hal yang terbangun secara alamiah. Bahkan mungkin sengaja dirawat. Setiap upaya untuk mendikotomi warga menjadi dua kelompok besar yang saling berlawanan secara politik merupakan hasil kolaborasi apik antara konsultan, partai politik, dan industri media; baik media massa maupun media sosial. Yang disebut terakhir merupakan entitas yang paling dominan dalam membangun citra. Saat industri media dan warga media sosial kehilangan independensi, yang muncul adalah polarisasi yang tak sehat antara stigma Iblis pembenci dan Malaikat yang suci.

Fenomena di atas tak lama lagi—atau bahkan sudah berlangsung—kita rasakan karena tahapan menuju Pilkada Jakarta akan segera digelar. Masyarakat kembali terbagi menjadi dua kutub besar. Semakin banyak seliweran ayat Al-Qur’an tentang pentingnya Gubernur Muslim untuk memimpin Jakarta, atau sebaliknya, siapa pun yang mengkritik Gubernur petahana adalah pendukung rasisme dan pro-koruptor. Kedua kelompok ini sama-sama melakukan demonisasi: pemilih gubernur petahana dicap pendukung kafir karena memilih non-muslim sebagai pemimpin, dan yang memilih calon gubernur selainnya akan dianggap anti-minoritas. Dua pilihan yang sangat tidak mengenakkan.

Maka menganggap kritik sebagai permusuhan, atau lawan politik sebagai iblis durjana, adalah langkah awal yang baik untuk menjadi seorang fanatik. Namun di alam demokrasi, apalagi dalam sebuah republik, absolutisme yang bebal semacam ini jelas tidak bisa diberi ruang.

Karena itu kita perlu curiga, mereka yang memelihara sikap fanatik dalam seleksi kepemimpinan politik, mungkin secara diam-diam mempunyai aspirasi untuk menghidupkan kembali despotisme seperti masa Roma di bawah Caligula atau Jerman di zaman Hitler. Atau mungkin mengangkat kuda untuk menjadi Wantimpres? Terdengar seperti ide yang menarik bukan?

url: http://ynng.ga/2a6IXtL

 

Himpunan Mahasiswa Islam

Komisariat Rumpun Ilmu Sains dan Teknologi

Universitas Indonesia


Recent Posts
bottom of page